Di tengah kejolak jiwa ingin segera melangsungkan pernikahan, ada info yang dahsyat dari Prof. Dr. Achmad Mubarok M. Oase di tengah kegersangan memahami arti keluarga sakinah. simak kedahsyatannya di bawah ini
Membina Keluarga bahagia Yang islami
Pasangan ideal dari kata keluarga adalah bahagia, sehingga idiomnya menjadi keluarga bahagia. Maknanya, tujuan dari setiap orang yang membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan kehidupan keluarga sebagai ukuran kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang gagal karirnya di luar rumah, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia. Sebaliknya orang yang sukses di luar rumah, tetapi keluarganya berantakan, maka ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapapun sukses diraih, tetapi kegagalan dalam rumah tangganya akan tercermin di wajahnya, tercermin pula pada pola hidupnya yang tidak bahagia.
Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anak-anak, cucu-cicit atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan, ; ketenteraman, kerinduan, keharuan, semangat dan pengorbanan,semuanya berlabuh di lembaga yang bernama keluarga. Sacara alamiah, ikatan kekeluargaan memiliki nilai kesucian, oleh karena itu bukan hanya di masyarakat tradisionil kesetiaan keluarga dipandang mulia, pada masyarakat liberalpun, kesetiaan keluarga masih menjadi nilai keindahan, meski persemayaman keindahan itu di alam bawah sadar. Dibalik budaya “pergaulan bebas” yang dinikmati masyarakat liberal, tetap saja diakui di alam bawah sadarnya “kebenaran” nilai kesetiaan dalam hidup berkeluarga.
Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar yang merupakan konsep dari bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan dalam wujud bangunan itu.
Demikian juga membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki konsep tentang keluarga bahagia. Banyak kriteria yang disusun orang untuk menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga dengan tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang pendidikannya tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu makna. Demikian juga pangan bukan sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada “selera” non gizi yang menjadi konsepnya. Demikian seterusnya tempat tinggal (papan) , kendaraan, perabotan bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna budaya. Secara sosiologis pesikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga dipandang sebagai parameter kebahagiaan.
Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, isteri bukan sekedar perempuan pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami bukan sekedar lelaki, tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertikal. Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di jalanan, dengan siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan. Hubungan seksual dengan perselingkuhan mungkin bisa memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan psikologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar